Langsung ke konten utama

Aku Ingin Menulisimu Sebuah Puisi

Selasa pagi, kau mendapati ponselmu menerima sebuah notifikasi dariku. Aku mengirim sebuah kalimat yang kutulis untukmu, "Dan takkan kujumpai lagi seorang perenang yang menyelami dalamnya lautanku sehandal dirimu."

Aku bertanya, "Dapatkah kalimat itu kau pahami?"
Kau menjawab, "Agaknya, aku tak begitu yakin."

Kujelaskan, kalimat itu adalah bentuk metaforis dari "dan takkan kutemukan lagi seseorang yang memahamiku sebaik dirimu."

***

Selasa sore, aku mendapati ponselku berdering karenamu. Di telepon itu, kembali kubahas kalimat yang kukirim delapan jam lalu.

"Aku bertumbuh dengan lagu-lagu tentang menyelami dunia seseorang. Aku bertanya-tanya, bagaimanakah rasanya? Saat kau mengenaliku... Kau bukan lagi menyelamiku, kau ada di palung, kau berada di dasar lautanku yang paling bawah."

Kau tertawa mendengarnya.
"Diselami olehmu terasa menenangkan sekaligus menakutkan," tambahku.
"Menenangkan dan menakutkan adalah dua perasaan yang kontradiksi," responsmu.
Namun, bagaimana jika aku hidup di dalam kontradiktif?

Aku membiarkanmu menyelami dalamnya lautanku hingga kau lupa rasanya kembali ke daratan. Kau jumpai ikan-ikan dan terumbu karang di lautku, lalu kau rawat mereka dengan caramu sendiri.

Ombak di lautanku terkadang kencang, tak jarang berbahaya. Namun kau tetap teguh berenang di lautku, tak peduli sekencang apa pun ombaknya. Adakah perenang lain yang ulung sepertimu?

Kau menemukan suatu bagian kecil yang selama ini kusembunyikan dari semua orang, termasuk dari diriku sendiri. Namun di hadapanmu, aku tak kuasa bersembunyi.

Kali pertama aku menyadari hal ini, aku menyangkal perasaanku habis-habisan. Bagaimana bisa ada seseorang yang menyentuh ruang yang selama ini kututupi dari semua orang, termasuk dari diriku sendiri? Tak lagi kusangkal perasaan itu, bukankah menyenangkan bila ada seseorang yang membantuku lebih memahami diriku sendiri?

Kau memahami diriku sampai ke tingkatan yang tak sanggup dijangkau oleh siapa pun. Aku tak berpikir ada orang lain yang mampu memahamiku sebaik dirimu.

***

Lima bulan lalu, pertama kalinya kau menyelami lautku. Selepas kakimu menginjak permukaan, kau mulai menyelamiku secara perlahan.

Kau memperbolehkanku melakukan hal yang sama.
Aku bertanya, "Apa yang membuatmu begitu yakin memperkenankanku mengenalimu?"
"Nyaman," jawabmu.
Aku harap, kau sungguh-sungguh bermaksud mengatakannya.

Betapa terhormatnya aku karena kau mengizinkanku mengetuk pintu duniamu yang semula terkunci rapat. Kemudian, aku masuk dan menjadi salah seorang bagian di dalamnya. Aku menolak pergi, aku ingin menetap. Tak pernah kurasakan koneksi seintens ini, sinyalnya terlampau kuat.

***

Sebagai penutup untuk mengakhiri tulisan yang tak padu ini, aku hanya ingin berucap aku ingin menulisimu sebuah puisi. Kalimat di paragraf pertama adalah upayaku untuk merealisasikannya.

Aku sangat ingin menulisimu sebuah puisi, namun kata-kata puitis kabur dari penaku. Aku kelimpungan mencari di mana kata-kata itu melarikan diri.

Meskipun tulisan ini bukan tulisan terbaikku, aku tetap ingin menulisimu sebuah puisi. Namun, bagaimana jika perasaan ini lebih indah dari sekadar kata-kata? Jika benar begitu, maka tak ada satu huruf pun yang bisa membelenggu perasaanku.

Apr '25

Komentar