Siang hari, Bandung Timur menunjukkan suhunya yang mencapai 30°. Perpustakaan tempat kita bernaung memiliki pendingin udara di atasnya. Sambil memutar lagu "HOT TO GO!" karya Chappell Roan dengan volume yang rendah, kau mematikan pendingin udara itu. "Udara alami lebih baik," katamu.
Hanya ada kita berdua di dalam perpustakaan. Pustakawan pergi entah ke mana. Para mahasiswa pergi berhamburan ke kantin atau ke kelas.
Aku mengenakan kaos oblong berwarna merah. Semula, aku membiarkan rambut panjangku tergerai. Aku pun menguncir rambutku. Ketika aku menggigit ikat rambut, kau menatap bola mataku seraya berucap, "Cantik."
"Panas, ya?" pertanyaan retoris itu kau lontarkan saat kau melepas jaket hitammu. Kita sama-sama mengenakan kaos oblong sekarang. Kaos oblongmu berwarna putih, bahannya tipis sekali, bentuk dadamu terlihat karenanya.
Aku duduk lesehan dan menyandarkan punggungku pada rak buku. Buku "Filsafat Politik" ada dalam genggamanku. Kau beranjak dari kursimu, mengambil buku "Filsafat Yunani" dari rak buku, kemudian duduk di samping kananku. Bahu kita saling bersentuhan.
"Serius amat bacanya," ucapmu. Aku hanya membalas ucapan itu dengan sebuah anggukan. Aku menyadari, kau curi-curi pandang padaku. Aku tahu, buku "Filsafat Yunani" hanyalah benda yang kau pegang, bukan buku yang kau baca. "Sebenarnya, kamu fokus baca buku atau—" belum sempat aku selesaikan kalimat itu, bibirmu bergerak cepat mencium bibirku. "Manis. Kamu abis minum Fruit Tea rasa blackcurrant, ya?" tanyamu.
Hah? Tahu dari mana dia? Wajahku tersipu malu. Aku berusaha memproses adegan apa yang baru saja terjadi. Seketika, aku lupa sampai halaman mana aku membaca buku "Filsafat Politik".
Aku menatap bola matamu, kau membalas tatapan itu dengan senyuman tipis. Kemudian, kita sama-sama mengalihkan pandangan ke arah depan. Kita salah tingkah. Kita tertawa lepas layaknya dua bocah SMA yang sedang kasmaran.
"Jadi, Aristoteles itu..." tiba-tiba, kau mengalihkan topik pembicaraan. "Duh, bacot banget, deh." aku tertawa sambil membuka Spotify dari ponselku. Aku memutar lagu "Kiss Me More" karya Doja Cat dan SZA. "Lagu ini? Maksudmu?" aku menjawab pertanyaanmu dengan sebuah kecupan yang mendarat di bibirmu.
Seketika, kau menjatuhkan tubuhku ke arah lantai. Tanganmu melakukan gerakan kabedon. Bibir kita bersentuhan lagi.
"Bagaimana dengan CCTV?"
"Persetan!"
Di tengah panasnya matahari Bandung Timur, di tengah merdunya alunan lagu "Kiss Me More", di tengah sepinya ruang perpustakaan... Bibirmu menyinggahi bibirku. Kau ambil buku "Filsafat Politik", kau tumpuk buku itu dengan buku "Filsafat Yunani", lalu kau tutupi muka kita di bawah tumpukan buku.
Tanganmu bergerak cepat menyentuh pinggangku. Ikat rambutku terlepas begitu saja. Rambutku berantakan. Napasku terengah-engah. Aku tak kuasa menahan gairah ini. Vaginaku bergetar. Cairan apa ini?
Kau membawaku terbang tinggi. Kupu-kupumu terbang mengitari taman bungaku. Kurasakan hormon oksitosin itu mengalir deras menghantam hormon dopamin.
Gusimu terasa lembut. Lidahmu bermain lincah, beradu dengan lidahku. Bibir bawahku dihisap olehmu. Aku mau lagi, aku mau lagi.
Di tengah membaranya ciuman ini, matamu menatap ke arah payudaraku.
"Bolehkah aku menjamahi—"
"Boleh."
Aku mengizinkanmu menyentuh bagian tubuhku yang indah itu. Tali BH-ku terlepas begitu saja. Jemarimu mulai meraba payudaraku, meremasnya perlahan, membuatku terangsang.
"Kau juga boleh—"
"Iya."
Belum sempat kau selesaikan kalimat itu, aku sudah mengerti apa yang kau maksud. Kulepaskan tanganku yang semula menyentuh lehermu. Kutemukan objek baru yang akan kusentuh—penismu. Aku menyentuhnya dengan dua tangan.
Besar sekali. Bagaimana bisa mahakarya ini bersembunyi di balik celana? Tak bisa kah aku melihatnya secara tampak?
Kau menjamahi payudaraku, aku menjamahi penismu. Kita bergerak secara agresif, tumpukan buku "Filsafat Politik" dan "Filsafat Yunani" jatuh menimpa lantai karenanya. Dug!
Kita menyudahi aktivitas ini. Kau dan aku merebahkan diri, membentangkan pandangan ke langit-langit, dan mencoba mengatur napas. Kau memalingkan wajahmu ke arahku dan berkata, "Aku ingin memasukimu."
Mendengar itu, aku bergegas duduk dan bersiap-siap keluar dari perpustakaan. Saat aku berdiri, aku memandangimu yang masih terdiam. Kau terlihat kebingungan. Sembari membuka pintu, aku berucap, "Aku ingin dimasukimu. Mari bercinta."
Komentar
Posting Komentar